Berita NTB
SKPD Yang Ngurus Budaya, Seni, Pemuda Orang Yang Ahli
Kekecewaan terhadap
kinerja SKPD tidak hanya diungkapkan oleh kalangan dewan maupun pengamat
politik dan pemerintahan, para LSM, petani akan tetapi para budayawan juga
termasuk yang tidak setuju bupati menempatkan pejabat yang tidak ahli.
Tidak jarang
para budayawan di Lombok Tengah hanya dimanfaatkan pada acara acara seremonial
belaka untuk mensukseskan acara ataupun kegiatan yang dimaksudkan oleh
pemerintah daerah, setelah itu dilupakan bahkan nyaris tidak di “gubris”
(bahasa Prayanya, sai endeng). Hal itu dirasakan oleh salah satu budayawan
Lombok Tengah Syar’I Bayan.
Budayawan kawakan
Lombok Tengah selama ini selalu aktif dalam kegiatan budaya baik setelah maupun
saat acara seremonial itu merasa sedih karena karya karyanya selama ini tidak
dihargai sebagai bentuk kepedulian terhadap budaya. Dia membandingkan dengan
perhatian pemerintah daerah terhadap para budayawan dan sejarawan di daerah
lain seperti halnya Lombok Barat dan Kota Mataram. “kalau di Lobar dan Mataram
perhatian pemerintahnya sangat tinggi terhadap para budayawan, setiap 6 bulan
sekali mereka diberikan semacam uang insetif atas kepeduliannya terhadap budaya
sementara kita di Lombok Tengah, saat ada acara saja kami dipanggil setelah itu
tidak ada lagi apa apa” kata tokoh yang juga menggeluti ilmu pawang hujan itu.
Yang semakin
membuatnya iri dengan daerah lain adalah saat pemkab Lombok Barat mengajak puluhan
budayawan untuk umroh ke tanah Suci Mekah, “jadi masih jauh kalau dibandingkan
dengan daerah lain” jelasnya.
Seperti kata
orang bijak, Negara atau daerah yang besar adalah Negara/daerah yang bisa
menghargai budayanya sendiri. Bentuk penghargaan terhadap kebudayaan adalah
dengan menjaga dan melestarikan khasanah budaya yang ada di satu daerah
termasuk juga memperhatikan orang orang yang selama ini intens dalam mengurusi
budaya itu sendiri. Karena itu jangan salahkan kalau kemudian para budayawan di
daerah ini cuek bebek terhadap perkembangan budaya itu sendiri.
Budaya itu
tidak hanya dilihat secara parsial yakni tradisi atau peninggalan nenek moyang
dalam bentuk upacara upacara atau ritual dan kesenian semata akan tetapi juga
norma norma yang berkembang di sosial masyarakat seperti Wibusana (tata cara
berpakaian) contohnya pakaian adat sasak, Wiraga (gerak gerik, tindak tanduk)
atau tingkah laku di masyarakat, Wirama (omongan, bicara) yakni aturan
berbahasa dan berbicara dengan melihat lawan berbicara dan Wirasa (menghargai,
menghayati) artinya saling harga menghargai antara satu dengan yang lain.
Lambat laun
jika dilihat sekarang ini adat istiadat dan budaya itu sendiri sudah mulai
mengalami kemunduran. Kemerosotan nila nilai budaya dan adat istiadat di
masyarakat itu tidak lepas dari kurangnya perhartian pemerintah dan budayawan
dalam membina dan menjaga serta melestarikan budaya dan adat istiadat itu
sendiri.
Saat ini pemahaman
terhadap nilai nilai budaya, adat istiadat khususnya kepada generasi muda sudah
sangat memprihatinkan. Perkembangan dunia pariwisata sendiri satu sisi
berdampak positif bagi daerah namun satu sisi mengancam kelangsungan budaya dan
moral di Lombok Tengah itu sendiri. Salah satunya adalah tata cara berpakaian
sehari hari maupun saat Nyongkolan. Itu sudah sangat buruk sehingga tidak
mencerminkan nilai keaslian dari budaya dan adat istiadat itu sendiri. Perkembangan
zaman telah menggerus kearifan kearifan lokal itu kepada kesesatan, jika ini
dibiarkan saja maka tentu lambat laun khazanah budaya yang kita miliki akan
lenyap maka yang tersisa adalah budaya budaya amburadul, kesenian urak urakan
dan mabuk mabukan seperti yang ada di jalan jalan sekarang ini.
Jadi wajar
kalau kemudian para budayawan berharap Bupati Lombok Tengah benar benar
menempatkan orang orang yang ahli dan faham terhadap budaya dan para praktisi
budaya dan pemuda itu sendiri. “kalau sekedar menjalankan program program yang
sudah ada sejak dahulu dan itu itu saja, saya juga bisa, namun harus bisa
mencari terobosan, bergaul ke bawah dan ke atas, peka terhadap perkembangan
zaman dan danpak buruk yang ditimbulkan lalu kemudian mencari cara untuk
mencegahnya, itu baru jempolan” tegas Miq Bayan.
Jika disimak
perkataan Miq Bayan maka, Bupati harus menempatkan orang orang di Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan serta di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga
haruslah orang yang tepat. Bila perlu Kadis Kebudayaan dan Pariwisata diganti. “Kalau
saya ditanyakan perlukah ada pergantian, maka saya katakan perlu, harus ada
penyegaran atau tukaran saja” jelasnya.
Disatu sisi
yang sudah mulai tergerus oleh peradaban zaman adalah kesenian tradisional yang
menjadi khzanah budaya dan kesenian Lombok Tengah yakni Gendang Beleq. Kesenian ini hampir hampir
saja tertinggal oleh musik kontemporer yang dibumbui ugal ugalan dan urak
urakan yakni Kecimol. Musik yang memadukan alat music modern dan music tradisional
ini awalnya tidak digemari namun lambat laun mulai muncul kepermukaan, meskipun
saat ini mulai kalah saing oleh Cilokak. Kedua jenis music ini sama sama
mengadopsi music tradisional yang dikombinasikan dengan music modern. Sebanarnya
kita salut dengan kreasi masyarakat itu hanya saja belakangan mulai bikin
masyarakat muak manakala dibumbu bumbui oleh sikap ugal ugalan urak urakan
dijalan, joget jogetan dengan tidak jarang dibarengi oleh bau minuman. Hal inilah
yang kerap memicu komplik di masyarakat.
Pemerhati kesenian
sekaligus Pimpinan Cilokak Tunggal Asih Kelurahan Semayan Japarussidik menilai
masyarakat sudah mulai kebablasan memahami kesenian itu sendiri. Lahirnya music
music kontemporer itu justru semakin membuka potensi komplik di masyarakat
dengan joget jogetan disertai mabuk mabukan di jalan. Jika sebelumnya alat music
yang paling digemari adalah Gendang Beleq maka lambat laun mulai terkikis oleh adanya Kecimol
maupun Cilokak. Hanya kalangan kalangan tertentu saja yang masih menggunakan
Gendang Belek. “Kalau kita bandingkan tingkat keamanan dijalan saat atraksi,
maka Gendang Beleq jauh lebih aman, rapi dan indah” jelasnya.
Dia berharap
lembaga teknis yang mengatur masalah budaya kesenian maupun pemuda melakukan
pembinaan terhadap pemuda pemuda itu sendiri. “Kalau joget jogetan di rumah
tidak masalah, tapi kalau dijalan maka kerap menimbulkan pertikaian, makanya
perlu kita dibina baik ke pemuda maupun ke kelompok kelompok kesenian yang ada”
jelasnya. (L.Amrillah)
Via
Berita NTB
Posting Komentar