Berita NTB
Nasional
Opini
Politik Hukum
Sosial Ekonomi
RSUD Praya Darurat Dokter Jaga
Tangani IGD dan Rawat Inap, Dokter Layaknya Robot
Rumah Sakit Umum Daerah Praya alami darurat dokter. Satu orang
dokter layani dua pasien sekaligus yakni pasien di rawat inap dan pasien di
Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Lalu Amrillah
Kalau pasien alami gawat darurat sudah biasa. Tentu akan ada
dokter dan petugas kesehatan lainnya yang akan menanganinya. Namun bagaimana
kalau rumah sakit itu alami gawat darurat dokter. Tentu akan kacau balau. Siapa
yang melayani dan dilayani. Bayangkan saja kalau tiba tiba ada pasien yang
gawat darurat dan butuh penanganan cepat dan tepat dari dokter di IGD sementara
dokter tersebut tengah berada di ruang perawatan untuk menangani pasien yang
juga kondisinya kritis dan perlu ditangani serius. Ada dua pilihan bagi dokter
jaga pada saat itu, pasien yang di ruang rawat inap yang akan mati atau pasien
yang di IGD yang ko’it.
Lalu , apa yang kemudian ada dibenak kita semua dengan
kondisi ini, tentu satu kata yakni prihatin. Sebenarnya untuk ukuran RSUD Praya
yang sudah menganut faham BLUD, pengalaman memalukan itu tidak perlu terjadi. Pihak
pihak penentu kebijakan harusnya realistis melihat kondisi rumah sakit yang
digembar gembor akan menjadi rumah sakit internasional seiring dengan
keberadaan bandara internasional itu. Dimana
rasa welas asih kita jika sudah demikian adanya. Memang apapun adanya, apapun
kondisinya yang bertanggungjawab atas keselamatan jiwa dari pasien adalah
dokter namun dokter bukanlah robot yang bisa membelah diri menjadi dua atau
tiga seperti Power Rangger. Mereka juga manusia yang butuh istirahat untuk
modal dasar menjaga dan merawat pasien dan berkumpul bersama dengan keluarga sebagai
semangatnya untuk berkerja ke esokan harinya.
Saat ini di rumah sakit ada 5 dokter umum atau dokter jaga. Dari
lima rumah sakit itu satu cuti haji dan satu lagi cuti menikah sehingga yang
tersisa hanya 3 orang. Sebenarnya kekurangan dokter suah dirasakan lama sejak
ditariknya 4 dokter oleh dinas kesehatan.
Menurut kepala IGD RSUD Praya Basar, belakangan ini rumah
sakit dijaga satu dokter jaga setiap harinya. Mereka bertugas dari pagi hingga
malam bahkan hingga pagi lagi. Sebenarnya ada 5 dokter yang dimiliki rumah
sakit akan tetapi dua izin cuti sehingga hanya tiga yang aktif. Yang tiga ini
berganti gantian setiap hari sehingga terkadang mereka los berjaga dari pagi
hingga malam. Dia sendiri menyadari bagaimana lelah dan capeknya dokter
tersebut namun apa mau dikata dia tidak bisa berbuat banyak. “Mereka butuh
istirahat, dokter juga manusia bukan robot” katanya di ruang kerjanya rabu.
Selama ini diakuinya setiap dua dokter melayani IGD dan ruang
rawat inap. Mereka berkerja selama kurang lebih 8 jam mulai dari jam 08.00 pagi
hingga jam 14.00 wita. Selanjutnya diganti oleh dokter lainnya dari jam 14.00
wita hingga jam 20.00 wita. Dan dari jam 20.00 wita hingga jam 08.00 pagi diganti
oleh dua dokter pengganti sehingga ada liburnya satu hari.
Hal yang sama diungkapkan kabid Pelayanan RSUD Praya L.Fatah.
menurutnya pihak rumah sakit krisis dokter jaga dalam beberapa hari ini. Idealnya
untuk ukuran rumah sakit seperti RSUD Praya minimal 8 dokter dengan sistim
siff dua orang setiap pergantian siff.
Pihaknya sendiri sudah bersurat ke Bupati ditembuskan ke BKD
terkait persoalan ini. Dia berharap pemerintah pada penerimaan CPNS nanti ada
lowongan untuk dokter. “Kita sudah minta 10 dokter, paling tidak sebelum
permintaan terpenuhi, 4 dokter yang dipindahkan ke Dinas Kesehatan itu bisa
dikembalikan lagi agar krisis dokter ini tidak berlanjut” jelasnya.
Secara terpisah Kepala Bagian Tata Usaha RSUD Praya Hj. Bq.
Eni mengaku sering mendapat komplain dari masyarakat terkait dengan pelayanan
RSUD Praya. Hal itu tidak lepas dari kurangnya dokter yang dimiliki. Dia sendiri
berharap agar pemerintah segera memperhatikan kondisi rumah sakit sekarang. “Kita
akui sering di komplain pasien maupun keluarga pasien, namun apa mau dikata,
kondisi kita seperti ini” jelasnya.
Sebagai pusat layanan masyarakat, RSUD Praya seharusnya
membenahi dari mulai hal hal yang vital seperti keberadaan dokter dan juga alat
alat kesehatan. Hanya saja hal itu sepertinya masih jauh api dari panggang,
sehingga apa yang menjadi mimpi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang
prima akan sulit terwujud. Yang menjadi pertanyaan besar. Sampai kapan kondisi
ini akan dialami oleh rumah sakit umum Praya ?. Haruskah kita membiarkan pasien
dan keluarganya teriak teriak setiap hari akibat dari buruknya pelayanan rumah
sakit. Ini tentu tidak adil khususnya bagi masyarakat miskin yang butuh
pelayanan di rumah sakit milik pemerintah. Seandainya seluruh masyarakat Lombok
Tengah berpenghasilan Rp.5 juta- Rp.10 juta perbulan tentu “mual” masuk ke
rumah sakit milik pemerintah. Lebih baik ke rumah sakit swasta yang secara
pelayanan jauh lebih baik karena mereka mengendapankan pelayanan untuk menarik
minat pasien. Coba saja jika tragedi itu menimpa para penentu kebijakan di
Lombok Tengah, saat dibutuhkan dokter tidak ada, perawat tidak ada tentu akan
mencak mencak.
Sebenarnya andaikan saja 4 dokter yang sudah ditarik oleh
Dinas Kesehatan itu masih ada maka Rumah Sakit tidak akan sepusing ini namun
dengan alasan tidak boleh mengangkat dokter secara langsung dan hanya dinas
kesehatan yang berwenang, 4 dokter tersebut ditarik dan ditempatkan di
puskesmas.
Bisa difahami memang langkah dinas kesehatan itu, namun
pernahkah mereka berpikir dengan menarik dokter tersebut justru akan terjadi
kemudarotan bagi lembaga yang lain. Tentu dalam hal ini harus ada azas
kemaslahatan dan azas kebijaksanaan sehingga satu dengan yang lain tidak saling
merugikan. Dinas Kesehatan tentu tidak lantas menarik dokter tersebut dengan
alasan aturan dan alasan kekurangan dokter di Puskesmas, tentu ada solusi yang
bijak diambil sehingga baik rumah sakit dan dinas kesehatan saling
menguntungkan satu sama lain. Semoga pasien yang dipuskesmas maupun di RSUD
tidak sama sama teriak. Kalau sama sama teriak, wah ! bakal repot.
Via
Berita NTB
Posting Komentar