Berita NTB
Cerita Er, Pedagang Souvenir Cilik Di Kawasan Pantai Seger
Berjualan Selepas Sekolah Buat Belanja
Meskipun pedagang kerap di cap sebagai “tukang ganggu
wisatawan” namun kita perlu melihat sisi baiknya. Pada pedagang sovernir itu
adalah masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Mungkin kalau mereka
sudah kaya tentu tidak akan melakukan hal itu. Menjadi penjual sovernir memang
ada suka dan dukanya. Senang apabila dagangannya laku dijual namun dukanya
apabila pembeli menolak membelinya. Selain itu menjadi pedagang semacam itu
harus menahan panas dan angin laut. Berdagang di tepi pantai, kulit menjadi
legam, rambut kemerah merahan dan tidak terurus. Istirahat siangpun sangat
langka karena berjualan selepas sekolah.
Er dan temannya sesama penjual sovernir |
Er salah satu pedagang sovernir cilik asal Ujung Desa Kuta
Kecamatan Pujut mengaku sudah melakukan kegiatan itu sejak kecil. Kini dia
sudah kelas 6 namun aktivitas itu masih dilakukannya. Dia mengaku dalam sehari
pendapatannya tidak menentu, kadang dapat banyak kadang juga nihil. Meski demikian
dia tetap menjalaninya dengan santai. “sepulang sekolah saya berjualan disini”
katanya.
Sovernir yang dijual berpariasi model dan bentuknya namun
rata rata harga sovernir bervariasi mulai dari Rp.5000 perbijinya hingga
Rp.10.000. Bagi Er kegiatan itu dilakukan untuk menambah uang belanja dan juga
sesekali membeli buku untuk sekolah.
Er dan kawan kawannya seharusnya tidak berada di tepat itu
untuk berjualan mencari nafkah. Mereka harusnya di rumah belajar dan istirahat.
Adalah tanggungjawab orang tua untuk menafkahi mereka dan bukan mengeksploitasi
mereka untuk mencari rupiah. pemerintah daerah seharusnya menjadikan cambuk
untuk lebih memperhatikan rakyatnya. Faktor kemiskinan menjadi penyebab utama
mereka berjualan oleh karena itu kebijakan strategis harus lebih banyak
berpihak kepada rakyat miskin. Am
Via
Berita NTB
Posting Komentar