Opini
Pelatihan Menjahit IRT Se Pujut. Dari Buta Mesin Jahit Hingga Bisa Buat Baju Sendiri
Pelatihan menjahit terbesar dan terbanyak pesertanya
sepanjang sejarah di kecamatan Pujut itu akhirnya resmi ditutup setelah selama
hampir 50 hari mengikuti proses belajar mengajar. Ada yang unik dari pelatihan
tersebut. Dari 236 peserta yang mengikuti pelatihan secara langsung itu
terdapat 7 peserta adalah laki laki. Mereka ternyata tidak rela jika harus
mengakui kekalahan dengan para ibu ibu dalam urusan membuat baju untuk anak
anaknya serta untuk orang lain. Ternyata merekapun tidak kalah cekatannya
dengan peserta ibu ibu itu. Bahkan tidak sedikit pesertanya sudah berumur.
Pelatihan yang dilaksanakan oleh TPK AD Kecamatan Pujut itu
dilatih oleh instruktur dari lembaga pemenang tender yakni LP2K Lario Yunari
Desa Teratak Kecamatan Batukliang Utara pimpinan Nurmi Yamin.
Nurmi Yamin sendiri bukanlah warga asli Lombok Tengah akan
tetapi kelahiran Bima. Kendati demikian kepeduliannya terhadap masyarakat
Lombok Tengah sangat besar. Kini dia menetap dan telah menjadi penduduk Teratak
Kecamatan Batukliang Utara. “Saya cinta Lombok Tengah dan saya sudah berwasiat
kelak jika meninggal dikubur di Tratak karena saya sudah menjadi bagian dari
masyarakat disana” katanya seusai pelatihan.
Dia mengatakan sejauh ini sudah ratusan bahkan ribuan orang
yang pernah dilatihnya baik diselenggarakan oleh PNPM maupun pihak lainnya.
Mereka rata rata sudah menguasai ilmu menjahit dan bordir, bahkan tidak sedikit
dari mereka yang sudah mandiri dan punya usaha sendiri.
Kepeduliannya terhadap masyarakat Kecamatan Pujut
dibuktikannya melalui pelatihan itu. Setiap hari dia harus bolak balik dari
Teratak bersama para tutor lainnya demi mencerdaskan para IRT di kecamatan
Pujut dalam hal menjahit. Jerih payahnya selama 49 hari itu berbuah manis.
Seluruh peserta yang diajarkan sudah menguasai ilmu menjahit. “Sebelum dilatih,
dari 236 peserta itu, sekitar 17 orang yang sudah ada dasarnya, selebihnya buta
akan mesin Jahit, sekarang mereka sudah bisa buat baju sendiri bahkan baju yang
digunakan pada penutupan itu adalah hasil kerja peserta sendiri” katanya.
Dalam melatih, Nurmi memang terkenal angker, tegas lugas dan
tidak tedeng aling aling. Dispilin waktu dan juga kualitas kerja menjadi sangat
ketat diberlakukan sehingga tidak sedikit yang mengatakan tutor killer. Hal itu
sengaja dilakukan untuk menjadikan ibu ibu rumah tangga yang berkualitas,
mandiri dan bisa menghidupi dirinya sendiri. “Saya dikatakan cerewet, judes
oleh peserta, namun itu saya lakukan untuk kebaikannya dan hasilnya mereka
sudah bisa menjahit” jelasnya.
Meski tegas dan keras dalam mendidik namun peserta menerima
dengan lapang dada, mereka justru termotivasi untuk terus berlatih. Sikap keras
dan tegas itu ternyata bagi peserta mengandung kasih sayang yang luar biasa.
Peserta merasa terbimbing dan diperhatikan selama menjalankan pelatihan. “Saya
bertekad seluruh anak didik saya harus bisa, makanya selalu saya bimbing,
arahkan demi kebaikan mereka” jelasnya.
Dan benar adanya berkat kerja kerasnya peserta sangat
terbantu. Seluruh peserta kini sudah mahir menjahit. Kedekatan emosional dengan
peserta selama menjadi instruktur sangat kuat. Tali persaudaraan terjalin
meskipun Nurmi sendiri bukanlah orang Pujut. Makanya begitu pelatihan ditutup
hampir seluruh peserta tidak bisa menahan luapan perasaannya berpisah dengan
Nurmi. Mereka berpelukan dan menangis layaknya akan berpisah selamanya. Para
peserta satu persatu memeluk dan mencium Nurmi. Deraian air mata membasahi pipi
peserta maupun Nurmi. Nurmi sendiri ikut terharu dan tidak bisa menahan air
matanya. Tak pelak Aula PGRI Kecamatan Pujut itu “tenggelam” oleh deraian air
mata peserta.
Baiq Kartiwi asal Desa Ketara Kecamata Pujut yang ditanya
alasannya menangis mengaku sedih berpisah dengan Nurmi. Baginya sosok Nurmi
adalah sosok guru yang sangat bertanggungjawab kepada peserta atau anak didiknya.
Kalau sekiranya belum bisa dia selalu membimbing dengan sabar hingga semua
bisa. Kartiwi sendiri membuktikannya dengan berhasil menguasai ilmu menjahit.
“Awalnya saya sama sekali buta dengan menjahit, saya hanya tahu benang dan
jarum saja, namun setelah saya dilatih, saya sudah bisa menjahit sendiri, baju
yang saya pakai ini buatan saya” jelasnya.
Peserta dididik tidak hanya bisa menjahit celana pendek dan
baju hem saja akan tetapi pakain setelan bawah atas juga sudah bisa bahkan
mukenahpun sudah dikuasai oleh peserta. “Kita terharu, begitu gigihnya melatih
kami sampai kami bisa, kedekatan emosional kami sangat kuat, makanya kami
menangis ketika berpisah” jelasnya.
Kartiwi berharap kedepan dia menjadi penjahit profesional dan
bisa mandiri seperti penjahit lainnya. “Kalau belum punya usaha sendiri setidak
tidaknya saya bisa menjahit baju dan celana untuk anak anak saya” katanya
dengan nada parau.
Kegigihan dan kepedulian Nurmi memang patut dicontohi oleh
para instruktur lainnya. Jiwa besar hati dalam mengajar harus terus pupuk agar
semangat tidak kendor. Yang terpenting adalah peduli terhadap kondisi ekonomi
masyarakat yang morat marit. Dengan dilatih keterampilan maka perekonomian
mereka bisa membaik. Am
Via
Opini
Posting Komentar