Berita NTB
Sosial Ekonomi
Peringati Hari Tani, Petani Demo Gubernur
Mataram - sasambonews.com - Ratusan elemen pemuda dan petani yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat Nusa Tenggara Barat menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur NTB dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional ke 57.
Dalam aksinya itu, sejumlah tuntutan disampaikan para pengunjuk rasa tersebut. Salah satunya, mereka meminta agar hak para tani tidak diabaikan oleh pemerintah.
"Saat ini bangsa Indonesia dinilai darurat agraria. Rampasan tanah petani makin banyak dikuras oleh pemerintah," kata Koordinator FPR NTB, Zuki Zuarman dalam orasinya di depan Kantor Gubernur NTB di Mataram, Senin.
Menurutnya, dari total 2.015.315 hektare (Ha) luas daratan NTB, 75 persen atau sekitar 1.436.975,32 Ha, telah dikuasi tuan tanah berupa Kesatuan Pengelola Hutan (KPH), Taman Nasional, Pertambangan, Perkebunan dan Pariwisata. Dari jumlah itu, kata dia belum termasuk lahan pembangunan global hub di Kabupaten Lombok Utara yang direncanakan seluas 7.000 Ha. Selain itu, Pembangunan Bendungan Bintang Bano, Bendungan Tanju dan lain sebagainya.
Ia kemudian mencontohkan, di bentuknya KPH yang diberikan kewenangan melakukan kerjasama dengan perusahaan perkebunan dan pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI), agar bisa mengontrol kawasan hutan justru dinilainya sangat merugikan masyarakat. Sebab, untuk NTB, HTI telah menguras hutan rakyat seluas 889.210 Ha dari luas hutan di NTB 1.071.722,83 Ha.
"Kondisi ini, membuat kondisi hutan tidak bisa dimanfaatkan oleh rakyat. Yang hanya bisa menikmati mereka para tuan tanah," ujarnya.
Salah satu bukti dampak dibentuknya KPH tersebut, sebut Zuki Zuarman, tersisihnya 600 kepala keluarga (KK) masyarakat Jurang Koak oleh Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) dan pengambilan secara paksa tanah petani oleh PT Sadana Arief Nusa di Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur.
"Belum lagi soal kelangkaan pupuk, harga komoditi pertanian. Termasuk, izin usaha pertambangan (IUP) yang kita anggap tidak berpihak kepada masyarakat kecil dan petani," terangnya.
Berdasarkan data tersebut, FPR NTB menolak rencana Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial yang dilakukan pemerintah. Termasuk, pihaknya meminta pemerintah agar Presiden Jokowi turun tangan menghentikan perampasan dan monopoli tanah serta segala bentuk intimidasi, teror, kekerasan dan kriminalisasi petani.
"Kami juga tolak klaim TNGR terhadap Tanah Adat Jurang Koak Lombok Timur dan menyerukan agar pemerintah mencabut Izin HTI PT Sadana Arief Nusa di Tanah Petani Sambelia," katanya.
Menanggapi tuntutan pengunjukrasa, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Holtikultura NTB Husnul Faozi yang menerima para pengunjuk rasa, mengatakan akan menyampaikan aspirasi para pemuda dan petani tersebut kepada gubernur untuk selanjutnya diteruskan ke pemerintah pusat.
Namun demikian, ia menambahkan terkait alih fungsi lahan yang menjadi bagian tuntutan para pengunjuk rasa, Husnul Faozi menegaskan boleh dilakukan asalkan sudah direncanakan jauh sebelumnya, itupun apabila alih fungsi tersebut menyangkut kepentingan umum.
"Boleh alih fungsi, tapi harus ada lahan cadangan yang disiapkan," katanya.
Selanjutnya, terkait subsidi pertanian yang diberikan pemerintah dikatakannya yakni subsidi biji benih. Bahkan untuk membantu petani, pemerintah juga sudah menerapkan asuransi ketika gagal panen dengan pemberian uang pengganti sebesar Rp 6 juta.
"Tapi sayangnya tidak semua petani ikut program tersebut," jelas Husnul Faozi.
Dalam aksinya itu, sejumlah tuntutan disampaikan para pengunjuk rasa tersebut. Salah satunya, mereka meminta agar hak para tani tidak diabaikan oleh pemerintah.
"Saat ini bangsa Indonesia dinilai darurat agraria. Rampasan tanah petani makin banyak dikuras oleh pemerintah," kata Koordinator FPR NTB, Zuki Zuarman dalam orasinya di depan Kantor Gubernur NTB di Mataram, Senin.
Menurutnya, dari total 2.015.315 hektare (Ha) luas daratan NTB, 75 persen atau sekitar 1.436.975,32 Ha, telah dikuasi tuan tanah berupa Kesatuan Pengelola Hutan (KPH), Taman Nasional, Pertambangan, Perkebunan dan Pariwisata. Dari jumlah itu, kata dia belum termasuk lahan pembangunan global hub di Kabupaten Lombok Utara yang direncanakan seluas 7.000 Ha. Selain itu, Pembangunan Bendungan Bintang Bano, Bendungan Tanju dan lain sebagainya.
Ia kemudian mencontohkan, di bentuknya KPH yang diberikan kewenangan melakukan kerjasama dengan perusahaan perkebunan dan pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI), agar bisa mengontrol kawasan hutan justru dinilainya sangat merugikan masyarakat. Sebab, untuk NTB, HTI telah menguras hutan rakyat seluas 889.210 Ha dari luas hutan di NTB 1.071.722,83 Ha.
"Kondisi ini, membuat kondisi hutan tidak bisa dimanfaatkan oleh rakyat. Yang hanya bisa menikmati mereka para tuan tanah," ujarnya.
Salah satu bukti dampak dibentuknya KPH tersebut, sebut Zuki Zuarman, tersisihnya 600 kepala keluarga (KK) masyarakat Jurang Koak oleh Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) dan pengambilan secara paksa tanah petani oleh PT Sadana Arief Nusa di Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur.
"Belum lagi soal kelangkaan pupuk, harga komoditi pertanian. Termasuk, izin usaha pertambangan (IUP) yang kita anggap tidak berpihak kepada masyarakat kecil dan petani," terangnya.
Berdasarkan data tersebut, FPR NTB menolak rencana Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial yang dilakukan pemerintah. Termasuk, pihaknya meminta pemerintah agar Presiden Jokowi turun tangan menghentikan perampasan dan monopoli tanah serta segala bentuk intimidasi, teror, kekerasan dan kriminalisasi petani.
"Kami juga tolak klaim TNGR terhadap Tanah Adat Jurang Koak Lombok Timur dan menyerukan agar pemerintah mencabut Izin HTI PT Sadana Arief Nusa di Tanah Petani Sambelia," katanya.
Menanggapi tuntutan pengunjukrasa, Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Holtikultura NTB Husnul Faozi yang menerima para pengunjuk rasa, mengatakan akan menyampaikan aspirasi para pemuda dan petani tersebut kepada gubernur untuk selanjutnya diteruskan ke pemerintah pusat.
Namun demikian, ia menambahkan terkait alih fungsi lahan yang menjadi bagian tuntutan para pengunjuk rasa, Husnul Faozi menegaskan boleh dilakukan asalkan sudah direncanakan jauh sebelumnya, itupun apabila alih fungsi tersebut menyangkut kepentingan umum.
"Boleh alih fungsi, tapi harus ada lahan cadangan yang disiapkan," katanya.
Selanjutnya, terkait subsidi pertanian yang diberikan pemerintah dikatakannya yakni subsidi biji benih. Bahkan untuk membantu petani, pemerintah juga sudah menerapkan asuransi ketika gagal panen dengan pemberian uang pengganti sebesar Rp 6 juta.
"Tapi sayangnya tidak semua petani ikut program tersebut," jelas Husnul Faozi.
Via
Berita NTB
Posting Komentar