Berita NTB
Opini
Sosial Ekonomi
Menyebut nama Tembakau, maka
ingatan kita adalah Rokok berbagai merek. Sebab Rokok dibuat dari tembakau
berbagai jenis. Meski tanaman ini dilarang ditanam bahkan dilarang untuk
mengkonsumsinya namun anehnya tanaman ini seolah olah menjadi penopang
perekjonomian masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang menjadikan komoditi ini
sebagai penopang hidupnya. Salah satunya adalah Sujarman Petani Tembakau Asal
Kecamatan Janapria.
Sekelumit Cerita Petani Tembakau
Sekelumit Cerita Petani
Tembakau
Anggaran DBCHT Seret, Beli
Air Demi Tenaman Tembakau
Samsul Hakim |
Bagi Sujar, tembakau adalah
urat nadi kehidupannya. Dengan tembakau dia bisa menghidupi anak dan istrinya
serta menyekolahkan anak anaknya hingga perguruan tinggi. Tidak itu saja dia
berhasil membeli mobil dengan hasil tanaman yang mengandung nikotin itu. Hanya saja
bisnis ini sangat rentang dengan kebangkrutan. Jika gagal panen maka apa yang
sudah diperoleh sebelumnya akan kembali habis terjual. Sujar sendiri sudah
merasakan susah senangnya menjadi petani. Senang saat hasil melimpah ditambah
harga jual tinggi. Susah ketika hutang di bank maupun di rentenir tidak bisa
terbayar akibat gagal panen ataupun harga melorot.
Bayangkan saja untuk
perhektarnya bisa mencapai Rp.25 ribu hingga Rp.30 ribu biaya tanamnya. Kalau
menanam dua atau tiga hektar maka bisa dihitung berapa biaya yang dikeluarkan. Belum
dihitung biaya tenaga dan pikiran.
Menanam tembakau tidak
seperti halnya menanam palawija ataupun padi yang tidak terlalu butuh
perhatian. Sekali tanam tinggal menunggu saatnya disemai. Namun menanam
tembakau perlakuannya tak ubahnya seperti merawat anak mulai dari bayi hingga
dewasa dan siap menikah. Setiap hari wajib petani keluar untuk mengawasi dan
mengontrol tanaman itu dari serangan hama maupun melakukan pemupukan. Belum
lagi membiayai pekerja yang tidak sedikit jumlahnya mulai dari buruh di sawah
hingga melakukan gelantangan di tempat pengovenan tembakau. “Kalau tidak kuat
mental, bisa saja orang itu gila kalau lagi rugi” jelasnya.
Tembakau adalah hasil bumi yang
diproses dari daun tanaman yang
juga dinamai sama. Tanaman tembakau terutama adalah Nicotiana tabacum dan Nicotiana rustica,
meskipun beberapa anggota Nicotiana lainnya
juga dipakai dalam tingkat sangat terbatas.
Tembakau
adalah produk pertanian semusim yang bukan termasuk komoditas pangan,
melainkan komoditas perkebunan. Produk ini dikonsumsi bukan untuk makanan tetapi
sebagai pengisi waktu luang atau "hiburan", yaitu sebagai bahan baku
rokok dan cerutu. Tembakau juga dapat dikunyah.
Kandungan metabolit sekunder yang kaya juga membuatnya bermanfaat sebagai
pestisida dan bahan baku obat.
Tembakau
telah lama digunakan sebagai entheogen di Amerika.
Kedatangan bangsa Eropa ke Amerika Utara memopulerkan perdagangan tembakau
terutama sebagai obat penenang. Kepopuleran ini menyebabkan pertumbuhan
ekonomi Amerika Serikat bagian selatan.
Setelah Perang Saudara Amerika Serikat, perubahan
dalam permintaan dan tenaga kerja menyebabkan perkembangan industri rokok.
Produk baru ini dengan cepat berkembang menjadi perusahaan-perusahaan tembakau
hingga terjadi kontroversi ilmiah pada pertengahan abad ke-20.
Dalam Bahasa
Indonesia tembakau merupakan serapan dari bahasa asing. Bahasa Spanyol
"tabaco" dianggap sebagai asal kata dalam bahasa Arawakan, khususnya, dalam
bahasa Taino di Karibia,
disebutkan mengacu pada gulungan daun-daun pada tumbuhan ini (menurut Bartolome de Las Casas,
1552) atau bisa juga dari kata "tabago", sejenis pipa berbentuk y
untuk menghirup asap tembakau (menurut Oviedo, daun-daun tembakau dirujuk
sebagai Cohiba, tetapi Sp. tabaco (juga It. tobacco) umumnya digunakan untuk
mendefinisikan tumbuhan obat-obatan sejak 1410, yang berasal
dari Bahasa Arab "tabbaq", yang dikabarkan ada
sejak abad ke-9,
sebagai nama dari berbagai jenis tumbuhan. Kata tobacco (bahasa Inggris)
bisa jadi berasal dari Eropa, dan pada akhirnya diterapkan untuk tumbuhan
sejenis yang berasal dari Amerika.
Melalui tenanaman ini devisa
yang dihasilkan sangat besar melalui pajak cukai dan tembakau. Hanya saja dana
bagi hasilnya ke daerah daerah cendrung kurang memenuhi rasa keadilan.
Samsul Hakim
Sekretaris Himpunan Petani Tembakau Lombok (HIPTAL) asal Bunut Baok Kecamatan
Praya mengatakan, persoalan yang kerap dihadapi oleh petani adalah anggaran yang
dialokasikan ke petani tembakau sangat kecil. Jika mengacu kepada Pemenkeu maka
porsi anggaran dari Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCHT) sebesar 50 % namun
yang dialokasikan sangat kecil, “ini yang selalu dilabrak di dewan,jadi
keprihatinan kita. Kita ingin bergerak ke dewan untuk menuntut keadilan. Kita masih
liat momentum” ungkapnya.
Menurutnya yang sering
membuat petani rugi adalah cuaca. Terkadang cuaca tidak bisa ditebak. Terkadang
hujan tidak turun saat dibutuhkan, sebaliknya saat dibutuhkan terlalu banyak sampai
layu bahkan mati, karean itu sistim tanam itu harus benar benar difahami dan
juga diikuti anjuran dari perusahaan pemasok tembakau “Tanaman tembakau tidak
membutuhkan air yang banyak, kalau berlebihan maka cepat layu dan mati. Kalau
ikuti prosedur dari buyer mak kita tak rugi” ungkapnya.
Saat ini ada penomena
yang menarik pada petani tembakau. Hujan sudah tidak ada lagi, air irigasi
sudah nyaris tidak ada kalaupun ada hanya di daerah daerah irigasi dan
jangkauan sumur bor saja, padahal tanaman tembakau sangat butuh air untuk
keberlangsungan hidupnya karena itu ada dua pilihan bagi petani yakni
membiarkan mati dengan menanggung kerugian besar atau tetap menghidupkan
tembakaunya dengan membeli air. Maka cara membeli airlah yang digunakan. Untuk 1
tangki mobil dihargakan Rp.350.000 hingga Rp.500.000 sementara luas areal tanam
cukup luas. Kendati dekimian petani tidak mempersoalkan asalkan tanamannya
tetap hidup.
Untuk biaya tanam bervariatif
sesuai dengan zona atau karakteristik wilayah masing masing. Untuk wilayah
utara biaya tanam lebih besar yakni berkisar antara Rp.40 Juta hingga Rp.45
Juta perhektarnya. Wilayah Tengah juga tidak jauh beda dengan wilayah Utara
namun untuk wilayah selatan lebih murah yakni sekitar Rp.25 juta perhektarnya.
Hal itu sebanding dengan kuwalitas yang dihasilkan. Kuwalitas akan mempengaruhi
harga tembakau itu sendiri. “Di Utara sewa lebih tinggi karena tanahnya
produktif. Disamping itu pula daun tembakaunya lebih tebal atau kualitas super,
biasanya tembakau utara dan tengah untuk rokok kretek, sedangkan daun tembakau
selatan lebih tipis dan biasanya untuk rokok rorok mile.
Selain masalah cuaca,
masalah lain yang kerap membuat petani rugi adalah adanya permainan grade oleh
perusahaan tembakau. Oleh karena itu provinsi yang turun tangan untuk melakukan
pengawasan. “jangan salahkan daerah saja, yang melakukan pengawasan itu adalah
Porvinsi melalui tim yang sudah dibuatnya atau tim independen yang faham grade
agar transparan. sudah bentuk tim intensifikasi tanaman tembakau tapi kerja tak
maksimal” jelas Hakim.
Diakuinya pihak
pemerhati harus dilibatkan sebab ada ketidak transparanana soal data areal
tanam dan juga produksi yang dihasilkan di gudang, “kita melihat adanya
indikasi permaianan terhadap laporan data yang disampaikan, kadang tidak masuk
diakal, sederhana saja kalau 18 ton saja basah hasil terendah, kalau 12 % nya maka
dalam perhektar akan dihasilkan 1,4 ton, kalau digrade rata rata 30 maka ketemu
untung dipotong modal tapi kadang tidak sesuai laporan” ungkapnya. .
Lembaga terkait
menurutnya harus sama sama mengawal perda tentang Tembakau. termasuk Polda
bidang ekonomi.
Sementara itu Kabid
Perkebunan Iskandar Jauhari, mengatakan pada tahun 2018 pemerintah telah
menyalurkan bantuan kepada kelompok tani tembakau berupa Cangkang 60 ton,
Tungku 4 unit, Alat pengepres 15 unit. Semua itu dari APBD Lombok Tengah dan
DBCHT. “dari provinsi 1700 hektar benih emas dan 60 hektar APBN untuk bantuan
kelompok tani” jelasnya. Am
Via
Berita NTB
Posting Komentar