Sosial Ekonomi
Ini Alasan Kenapa Petani Susah Cari Buruh Panen
Lombok Tengah, sasambonews.com- Memiliki lahan pertanian yang cukup apalagi luas tentu sangat menyenangkan namun apa jadinya jika buruh tani minim terutama buruh panen. Tentu saja bikin pusing, apalagi padi sudah menguning dan terancam buah padi rontok dari tangkainya jika terlambat dipanen.
Akhir akhir ini petani atau pemilik sawah kerap dipusingkan dengan susahnya mencari buruh panen. Kalaupun dapat tukang panen sudah diinjuri time dimana padi sudah terlalu tua dan mulai rontok bulirnya dari tangkai. Bukan itu saja berburu tukang panen hingga keluar daerah.
Lalu apa penyebab susahnya mencari tukang panen ?.
Sore kemarin, disela sela menunggu hujan reda usai digoyang gempa. Disebuah gazebo atau berugak dipinggir sawah Dekat Dusun Pemantek Desa Prako, saya bertemu dengan Sukandi seorang buruh panen asal Desa Jenggik Lombok Timur. Kebetulan samaan berteduh di tempat itu.
Kamipun berbincang soal panen termasuk sulitnya mencari buruh panen.
Sukandi mengakui petani sulit mencari buruh panen lantaran beberapa faktor diantaranya faktor malas. Pemuda pemuda sekarang lebih malas jika dibandingkan saat dirinya masih muda. Anak anak muda sekarang lebih memilih pekerjaan didunia industri dan disektor perkebunan baik didalam dan luar negeri. "Sekarang ini susah cari pemuda yang tinggal dikampung, mereka memilih jadi TKIe luar negeri, termasuk juga anak anak muda yang lebih memilih poya poya, makanya sulit cari tukang panen" jelasnya.
Selain itu tukang panen mulai sedikit akibat dari tidak adanya generasi penerus akibat dari meningkatnya kuwalitas sumberdaya manusia khususnya bidang pendidikan. Sebab kalau sudah sarjana malu untuk menjadi buruh panen.
Tukang panggul gabah dari lokasi panen hingga ke pinggir jalan mulai jarang sebab anak anak sekarang disamping tak bertenaga tapi juga malas padahal biaya panggul dari lokasi ke pinggir jalan atau rumahnya cukup besar. "Kadang jaraknya cukup jauh dengan resiko terjatuh atau terpeleset di pematang sawah akibat licin sehingga butuh tenaga yang kuat, itu yang membuat orang malas meski biayanya lumayan besar. "Biaya panggul tergantung jauh dekatnya paling rendah Rp.15 ribu dan paling banyak Rp. 50 ribu perkuwintalnya diluar ongkos panen" jelasnya.
Banyaknya lahan tidak sebanding dengan jumlah buruh panen sehingga harus nunggu giliran. "Kendala lain karena tukang panen mundur dengan berbagai alasan" jelasnya.
Jarak tempuh ke lokasi sampai keluar kabupaten sehingga malas pergi.
Faktor terakhir adalah trauma dari tukang panen atas layanan yang diberikan misalnya upah kerap seret, makan minum kerap terlambat dan mungkin pemilik sawah cerewet ataupun judes
Akhir akhir ini petani atau pemilik sawah kerap dipusingkan dengan susahnya mencari buruh panen. Kalaupun dapat tukang panen sudah diinjuri time dimana padi sudah terlalu tua dan mulai rontok bulirnya dari tangkai. Bukan itu saja berburu tukang panen hingga keluar daerah.
Lalu apa penyebab susahnya mencari tukang panen ?.
Sore kemarin, disela sela menunggu hujan reda usai digoyang gempa. Disebuah gazebo atau berugak dipinggir sawah Dekat Dusun Pemantek Desa Prako, saya bertemu dengan Sukandi seorang buruh panen asal Desa Jenggik Lombok Timur. Kebetulan samaan berteduh di tempat itu.
Kamipun berbincang soal panen termasuk sulitnya mencari buruh panen.
Sukandi mengakui petani sulit mencari buruh panen lantaran beberapa faktor diantaranya faktor malas. Pemuda pemuda sekarang lebih malas jika dibandingkan saat dirinya masih muda. Anak anak muda sekarang lebih memilih pekerjaan didunia industri dan disektor perkebunan baik didalam dan luar negeri. "Sekarang ini susah cari pemuda yang tinggal dikampung, mereka memilih jadi TKIe luar negeri, termasuk juga anak anak muda yang lebih memilih poya poya, makanya sulit cari tukang panen" jelasnya.
Selain itu tukang panen mulai sedikit akibat dari tidak adanya generasi penerus akibat dari meningkatnya kuwalitas sumberdaya manusia khususnya bidang pendidikan. Sebab kalau sudah sarjana malu untuk menjadi buruh panen.
Tukang panggul gabah dari lokasi panen hingga ke pinggir jalan mulai jarang sebab anak anak sekarang disamping tak bertenaga tapi juga malas padahal biaya panggul dari lokasi ke pinggir jalan atau rumahnya cukup besar. "Kadang jaraknya cukup jauh dengan resiko terjatuh atau terpeleset di pematang sawah akibat licin sehingga butuh tenaga yang kuat, itu yang membuat orang malas meski biayanya lumayan besar. "Biaya panggul tergantung jauh dekatnya paling rendah Rp.15 ribu dan paling banyak Rp. 50 ribu perkuwintalnya diluar ongkos panen" jelasnya.
Banyaknya lahan tidak sebanding dengan jumlah buruh panen sehingga harus nunggu giliran. "Kendala lain karena tukang panen mundur dengan berbagai alasan" jelasnya.
Jarak tempuh ke lokasi sampai keluar kabupaten sehingga malas pergi.
Faktor terakhir adalah trauma dari tukang panen atas layanan yang diberikan misalnya upah kerap seret, makan minum kerap terlambat dan mungkin pemilik sawah cerewet ataupun judes
Via
Sosial Ekonomi
Posting Komentar