CUPAK ILANG SUKMA
Umbul — umbul tampak semarak di halaman bencingah. Alun — alun, pasar, rumah — rumah penduduk hingga gang — gang kecil juga tidak ketinggalan semaraknya. Panji — panji kebesaran dipancang di segala penjuru, terutama tempat — tempat penting dan strategis. Wajah ibukotapun jadi tampak indah dan meriah. Akan ada perhelatan sangat penting dan akbar, nanti di hari pamungkas. Dan saat ini, gawe besar itu tengah dimeriahi pesta rakyat selama tujuh hari tujuh malam.
Di hari pamungkas nanti, datu lingsir akan mengisi janjinya di hadapan seluruh kawule - bale. Beliau akan menikahkan putri semata wayangnya — Dende Puspasari — dengan Raden Cupak, sekaligus menobatkan pahlawan itu sebagai penggantinya. Cupak hendak menuai imbalan dari paduka datu, sebab dialah yang dianggap telah memenangkan sayembara besar menumpas Denawa dan membebaskan Dende inges Puspasari dari tawanan raksasa jahat itu.
Gong gamelan bertala di alun — alun sepanjang malam, mengiring gerak gemulai para penari jangger yang genit dan garang memburu saweran. Pertandingan peresean digelar setiap hari hingga petang. Para pepadu berdatangan dari segela penjuru, tak ketinggalan pula dari negeri — negeri manca. Mereka turut ambil bagian di ajang langka itu, berebut piagam paling bergengsi yang diperuntukkan bagi pepadu paling angoh dan trengginas. Pepadu jawara itu nanti akan mendapat mandat beradu angoh dengan Raden Cupak dalam pertarungan kehormatan di hari pamungkas.
Kalau menang, akan dijadikan saudara angkat oleh datu, dinobatkan jadi bangsawan dan dianugerahi gelar, lengkap dengan berbagai macam hak istimewanya. Kalau kalah juga tatap mujur, diangkat jadi pengawal pribadi datu atau diangkat jadi senapati. Tapi siapa pula yang berani muluk memasang target menang melawan Raden Cupak, pahlawan gagah berani yang telah menewaskan raksasa Denawa itu?
Pesta rakyat itu telah memasuki hari ke enam. Suasana di alun — alun ibukota semakin gegap gempita. Suara penjalin beradu perisai semakin garang, ditingkahi tempo gending pengiring yang semakin meninggi. Rupanya pertandingan telah memasuki babak — babak penting. Sebagian besar pepadu telah tereleminasi dan menyisakan beberapa pepadu yang paling berkelas dan trengginas saja. Tampik sorak penontonpun kian riuh hingga larut senja.
Duel terakhir baru saja usai, sangat seru dan alot. Kedua pepadu sama — sama lincah dan cekatan mengayun rotan dan perisai, memukul dan mematahkan setiap serangan lawan. Lelaki tinggi besar dan berkumis tebal itu adalah pepadu andalan dari negeri manca. Dijagokan banyak orang dan selalu menang dalam bursa taruhan. Tapi hari ini rupanya nahas, ia kalah sigar di pertarungan yang paling menentukan.
Pemuda tampan berperawakan sedang itu baru saja memukulnya hingga tersungkur. Pelipisnya robek mengucurkan darah. Rupanya jagoan itu terlalu bernafsu untuk segera menumbangkan lawannya yang terpandang jauh lebih kecil. Tapi lawannya ternyata jauh lebih lincah, meloncat kiri kanan, menghindar dan menangkis, bahkan sengit menyerang di saat lawan lengah terbakar amarah.
Pemuda tampan itu menang tilah. Hanya satu dua bekas luka melintang di punggung dan dadanya yang bidang. Ia tersenyum ramah sambil menyapu seluruh penonton dengan pandangannya yang tajam.Wajahnya tenang, tidak sedikitpun menyiratkan kesan congkak dan jumawa. Lalu sambil meletakkan tangan kanan di dada, lelaki gagah itu membungkuk penuh hormat kepada penonton yang mengelukannya dengan segenap perasaan kagum.
Maka kabarpun segera tersiar ke seluruh penjuru ibukota dan pepadu tampan itu mendadak jadi buah bibir yang dielukan di mana — mana. Perhatian rakyatpun mulai beralih, obrolan — obrolan mulai berganti topik, tidak lagi tertuju satu kepada penobatan sang datu, tapi kepada duel kehormatan yang akan digelar di halaman bencingah esok hari. Orang — orang mulai jejah dan penasaran, menebak — nebak siapa gerangan yang akan keluar sebagai pemenang.
Namun di tengah suasana jejah dan penasaran itu, tak sedikit pula yang berharap supaya duel kehormatan itu dibatalkan saja. Toh datu punya hak untuk mengangkat pemuda tampan itu jadi pengawal atau senapati tanpa syarat apapun kalau beliau mau. Tapi sepertinya hal ini akan sangat sulit, karena yang punya keinginan keras dengan pertarungan besar itu adalah Dende Puspasari sendiri. Mungkin tuan puteri hendak meyakinkan diri dan rakyatnya, kalau calon suami dan pengganti ayahandanya itu adalah benar — benar seorang kesatria yang pantas menjadi datu.
***
Berbeda jauh dengan suasana hingar — bingar di tengah pesta rakyat itu, Dende Puspasari tampak gundah di dalam puri keputren. Raut wajahnya muram kelam. Tubuhnya yang ramping terlihat semakin kurus menyusut. Dan seperti malam — malam sebelumnya, ia mendesah berulang kali. Matanya yang sembab menerawang ke taman keputren, tapi tak satupun bunga — bunga yang tumbuh di taman itu singgah dalam pikirannya.
Inak Rande, perempuan setengah baya yang saban waktu menemaninya itupun sepertinya sudah kehabisan akal untuk menenangkan momongan sekaligus junjungan yang amat dicintainya itu. Dan untuk kesekian kalinya ia coba untuk membujuk. “Dende Inges, sudah berhari — hari Dende tidak menyentuh makanan, inak takut Dende sakit.”
“Inak, bagaimana aku bisa makan dan tidur, sedang sampai saat ini aku belum tahu dengan pasti bagaimana nasib kakang Gurantang. Apakah ia masih hidup atau telah tewas di dalam goa itu. Jika ia memang telah meninggal, biarlah aku mati saja Inak, biarlah aku menyongsongnya ke akhirat, sebab rasanya tidak mungkin lagi dunia ini akan mempertemukan kami. Aku tidak akan mungkin sanggup bersanding dengan manusia culas dan pengecut macam Cupak itu Inak. Aku tidak akan sanggup…..” Dende Puspasari masih menolak bujukan inang asuhnya.
Syahdan, tatkala Denawa telah benar — benar tewas di ujung keris Gurantang, Cupak yang sedari awal telah gemetar dan ketakutan itupun keluar dari persembunyiannya. Ia tidak menyangka sama sekali kalau Gurantang — adiknya — akan sanggup merobohkan raksasa yang tubuhnya berkali — kali lebih tinggi dan besar itu.
Nafsu khianat Cupakpun muncul demi melihat kecantikan putri Puspasari yang masih bersandar lemah di bawah pohon meranti hutan. Maka dengan akal liciknya yang cemerlang, Cupak berhasil membujuk Gurantang untuk kembali ke dalam goa. Ia berdalih selendang putri masih tertinggal di dalamnya. Kesatria itupun kembali ke dalam goa tanpa menyangka sedikitpun kalau bahaya tengah membuntutinya.
Dan benar saja, ketika Gurantang telah jauh masuk ke dalam goa, Cupak dengan cekatan mendorong batu besar yang bertengger di atas pintu goa. Batu itu menggelinding jatuh menutupi pintu goa, mengubur Gurantang — kesatria yang gagah berani itu — di dalamnya.
Cupak mengayun parang, memenggal kepala Denawa yang terkapar kaku tak bernyawa itu sambil terbahak lepas. Kepala raksasa itulah yang dibawanya ke hadapan datu sebagai bukti yang tak terbantahkan, bahwa dialah yang telah membunuh raksasa jahat itu. Dende Puspasari geram tak terkira namun ia tak bisa berbuat apa - apa. Apalagi Cupak telah mengancam hendak membunuhnya jika ia berani membeberkan kejadian yang sesungguhnya.
***
Dende Puspasari telah duduk di tempatnya, mendampingi ayahnya — Datu lingsir — yang juga telah menempati singgasananya. Para pejabat dan tamu negarapun telah duduk berjejer di atas panggung, menempati tempatnya masing - masing. Seluruh kawule — bale berkumpul di halaman bencingah yang luas itu. Mereka berdatangan sejak fajar demi mendapat tempat yang nyaman untuk menyaksikan perhelatan penting itu.
Dende Puspasari membuang mukanya jauh — jauh dari tatapan mata Cupak yang juga telah duduk di tempatnya. Putri cantik itu semakin nyinyir melihat tingkah polah Cupak yang angkuh dan jumawa itu. Wajahnya semakin diliputi murung dan cemas. Ia berharap Cupak dipermalukan dalam duel kehormatan ini. Maka akan terbukalah jalan baginya untuk membeberkan seluruh akal bulus pahlawan gadungan itu di hadapan rakyatnya. Dan Cupak, tidak akan pernah sempat melaksanakan ancamannya sebab para algojo akan segera mengeksekusi kepalanya.
“Tapi bagaimana jika Cupak menang?” Puspasari membatin penuh was — was sambil menatap keramaian di hadapannya dengan mata gamang. Ia merasakan kalau harapan satu — satunya saat ini hanyalah Tuhan. Dalam cemas dan was — was itu, ia tetap berharap Tuhan berkenan mengirimkan keajaiban pada detik — detik terakhir.
Gongpun ditabuh sebagai pertanda upacara dimulai. Tempik sorak dan gending pengiring mengiringi langkah Cupak yang jumawa ke dalam arena laga. Dadanya busung menantang, dengan penjalin dan perisai di tangan.
Seorang pekatik berteriak lantang, mengumumkan lawan tanding yang akan menghadapi Cupak. “Dan yang mendapatkan kehormatan untuk menantang Raden Cupak dalam pertarungan kehormatan ini adalah….Guuurantaaaaang!”
Dende Puspasari terperanjat. Ia meloncat dari duduknya mendekati arena yang tengah riuh gemuruh. Ia ingin memastikan bahwa pemuda yang menyeruak dari kerumunan penonton itu benar — benar Gurantang.
Tak terkecuali Cupak, iapun tak kalah terperanjat demi melihat lawannya benar — benar Gurantang. Jumawanya luruh seketika berganti kecut dan gentar. Seluruh persendiannya terasa gemetar dan keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya yang tambun. Gurantang berdiri tenang, menggenggam sebuah selendang sutera berwarna ungu di tangan kirinya. Tatapannya nanar menukik jantung lawan. Gurantang berteriak lantang sambil mengarahkan ujung penjalin ke arah Cupak.
“Kakang Cupaaaaak !!! Tak kusangka Kakang sebusuk itu! Kakang menyuruhku menyelamatkan sehelai selendang ini, tapi Kakang sendiri telah merampok pemilik selendang itu dariku! Sekarang kita akan buktikan, siapa sesungguhnya yang layak disebut pahlawan!”
Seluruh hadirin terkesiap menyaksikan prolog dari drama pertarungan itu. Merekapun mulai menebak — nebak apa yang sesungguhnya telah terjadi.
Cupak membisu seribu bahasa. Ia terpaku, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Gurantang ternyata masih hidup, masih segar bugar. Ia tak menyangka sedikitpun kalau Gurantang akan dapat meluputkan diri dari goa itu. Cupak benar — benar kecut dan takut. Hampir saja ia meluputkan diri dari arena itu, tapi apa lacur, tak ada pilihan lain selain bertarung.
Maka sejari — jari beras bekerem, Cupakpun mengamuk sejadi — jadinya. Ia menyerang Gurantang dengan membabi buta. Tapi Gurantang melayaninya dengan lincah dan trengginas. Setiap serangan Cupak luput menerpa ruang kosong. Tempik sorak penonton membuat Cupak semakin beringas tak terkendali. Perisai di tangan kirinya terpental jatuh ke tanah dan pada saat itu, ujung penjalin Gurantang berkali — kali mendarat telak di rusuk dan keningnya. Riuh penonton semakin gemuruh keika Cupak terhuyung dan roboh.
Tapi tiba — tiba Cupak berdiri, melompat dengan cekatan ke atas panggung, menyambar sebilah keris yang terselip di punggung datu lingsir. Orang tua itupun terperanjat beberapa saat, karena dalam sekejap ujung keris itu telah terbenam di lambungnya. Datu lingsir itu tewas seketika. Dan perhelatan penting itupun berubah menjadi perhelatan berdarah.
Dende Puspasari memekik melihat ayahnya yang bersimbah darah, tapi hanya sesaat pula karena Cupak telah menghunus keris itu ke arahnya. Ia berlari di antara kerumunan manusia yang mulai panik tak terkendali. Mereka tunggang — langgang tak tentu arah mencari perlindungan. Cupak mengejar sambil mengaum penuh amarah, ia menusuk dan menebas siapa saja yang ada di hadapannya. Korbanpun berjatuhan, darah tergenang di seluruh permukaan altar dan halaman bencingah.
Cupak berhasil menghadang buruannya, keris itu ditusukkannya ke arah jantung Puspasari. Tapi sehelai selendang melilit dan menarik keris itu keras — keras hingga terlepas. Cupakpun terjengkang ke belakang, rupanya tendangan Gurantang mendarat telak di ulu hatinya hingga ia terhuyung. Cupak menatap Gurantang dengan geram. Ia mengaum penuh murka.
“Minggir Kau Gurantaaaaang! Aku Denawa akan menuntut balas! Akan kubunuh kalian semua!” Rupanya Cupak telah ilang sukma. Roh raksasa Denawa telah merasuki tubuhnya, dan sekarang ia kembali dalam wujud Cupak untuk menuntut balas.
Raksasa Denawa berwujud Cupak itu kembali menyerang Gurantang dengan sengitnya. Tapi Gurantang benar — benar kesatria trengginas. Tak sehelai rambutpun serangannya dapat menggores tubuh Gurantang. Orang — orang menyaksikan pertarungan itu dari tempat berlindung yang agak jauh.
Jelmaan raksasa jahat itu mulai putus asa. Seluruh serangannya dapat dimentahkan oleh Gurantang. Dan pada suatu saat yang tepat, Gurantang menghujamkan keris itu ke ulu hati lawannya. Cupakpun mengerang dengan mata terbelalak meregang nyawa, sebelum akhirnya ambruk ke tanah.
Orang — orang mulai keluar dari tempat — tempat mereka berlindung, melangkah mendekat mengikuti Dende Puspasari yang berlari menghampiri Gurantang. Tapi Gurantang masih berdiri terpaku — menggenggam sebilah keris berlumur darah — menatap Denawa berwujud Cupak yang baru saja ia bunuh, untuk kedua kalinya.
TAMAT
Istilah — istilah bahasa Sasak dalam cerita :
Bencingah : Istana tempat tinggal raja ; Lingsir : Tua ; kawule — bale : Rakyat ; Dende : Panggilan untuk perempuan bangsawan ; Iinges : Cantik ; Jangger : Nama salah satu tarian rakyat suku Sasak ; Peresean : Seni bela diri suku Sasak yang menggunakan rotan dan perisai sebagai senjata ; Pepadu : Petarung peresean ; Angoh : Sakti, kuat ; Penjalin : Rotan ; Kalah sigar : Kalah bertarung dengan mengalami banyak cidera atau luka parah ; Menang tilah : (lawan dari kalah sigar) Menang bertarung tanpa mengalami banyak cidera atau tanpa banyak luka ; Jejah : Cemas, harap — harap cemas ; Inak : Ibu ; Pekatik : Pesuruh ; Sejari — jari beras bekerem (ungkapan) : Tidak dapat dihindari atau dihentikan karena terlanjur, sehingga harus dihadapi atau diteruskan ; Ilang sukma : Hilang kesadaran, kesurupan.
Posting Komentar